Selasa, 13 Juni 2017
Gerabah Anjun Kecamatan Kandanghaur
Kerajinan
Gerabah di Peralihan Zaman
Oleh: ( Afifah)Sangar
Asem Gede Losarang Indramayu
Di zaman yang sudah modern ini dimana
alat-alat canggih dan praktis seperti handphone,
magiccom, dispenser dan kulkas mulai menjamur dikalangan masyarakat ternyata
masih ada orang yang tetap menggunakan alat-alat tradisional dalam
kesehariannya. Seperti alat dapur berupapedaringan(tempat
menyimpan beras),kuali (untuk memasak
jamu), kekeb(penutup dalam memasak
nasi),pendil(tempat ari-ari/memasak
jamu), laya(seperti piring) dankendi(tempat menyimpan air).Benda-benda
ini terbuat dari tanah liat yang biasa disebut dengan gerabah.
Gerabah adalahperkakas yang terbuat
dari tanah liat yang dibentuk kemudian dibakar untuk dijadikan alat-alat yang
berguna membantu kehidupan manusia. Gerabah sudah menjadi hal yang biasa bagi
masyarakat di Desa Karanganyar Kec. Kandanghaur Kab. Indramayu. Bahkan, ditengah
gempuran teknologi masih ada permintaan akan gerabah ini sedangkan pengrajinnya
bisa dihitung dengan jari.
Salah satunya Ibu Casinah, seorang
pengrajin gerabah yang umurnya hampir satu abad sudah bertahun-tahun tetap
mempertahankan kebiasaannya. Pun kebiasaannya dalam membuat gerabah. Hampir
separuh dari umurnya beliau habiskan sebagai seorang pengrajin gerabah. Mungkin
sama halnya seperti pengrajin-pengrajin lain yang seusianya. Sejak kecil beliau
sudah dikenalkan dengan gerabah hingga pada akhirnya hanya kenal dengan
gerabah.
Saat masih duduk di bangku Sekolah
Dasar kelas 3 dan baru genap berusia 13 tahun beliau mulai belajar ngleler (membuat gerabah)secara
otodidak. Berawal dari rasa penasaran dan kagumnya melihat sang Ibu membuat
gerabah, beliau mencoba mengikuti ibunya membuat gerabah. Cuwo (seperti mangkuk kecil, digunakan untuk tempat sambal) adalah
gerabah pertama yang bisa beliau buat. Hingga akhirnya bisa membuat laya/coetseperti
yang ibunya buat.
Kini Ibu casinah mampu membuat cuwo, laya dan kekeb. Sejak bisa membuat
gerabah Ibu Casinah berhenti sekolah. Bagi masyarakat disini bisa membuat
gerabah itu sudah cukup, dengan mempunyai keahlian ini maka bisa dikatakan
sudah memiliki pekerjaan. Ibu Casinah beruntung karena masih merasakan bangku
sekolah, sedangkan kebanyakan pengrajin pada umumnya tidak pernah mengenyam
bangku sekolah.
Gerabah sendiri terbuat dari campuran
tanah liat dan pasir. Proses pembuatannya pun tidak terlalu sulit asalkan sabar
dan hati-hati. Berikut proses pembuatannya, pertama, pengambilan tanah liat. Biasanya
tanah diambil dekat sawah, lalu dikumpulkan jadi satu sampai berbentuk
gelondongan. Tanah liat yang masih gelondongan disebut masih mentah karena
keras.
Kedua, tanah liat yang masih
gelondongan laludiserat(disisir),
orang-orang biasa menyebutnya dengan nyerat.
Menggunakan alat yang terbuat dari kawat yang memanjang dengan kain
disetiap ujungnya sebagai pegangan yang disebut serat. Cara menggunakannya dengan mensisir tanah secara vertikal.
Kemudian, proses penggilingan. Tanah
liat yang sudah disisir lalu disiram air dan ditambahkan pasir (perbandingan
tanah dan pasir 1:1) lalu didiamkan semalaman. Proses penggilingan dilakukan
secara manual dengan cara diinjak-injak, agar menjadi halus. Setelah halus lalu
tanah dikumpulkan dan dibentuk gelondongan lagi.Tanah yang sudah digiling ini
disebut tanahmateng (masak) karena
teksturnya lebih halus.
Lalu, masuk pada proses
pembentukan.Tanah liat tidak langsung dibuat gerabah, tanah yang masih
gelondongan tadi dibentuk seukuran kelapa. Sebelum dibentuk seukuran kelapa
kerikil-kerikil yang masih menempel pada tanah dipisahkan, hal ini dilakukan
agar proses pembuatan lebih mudah dan gerabah yang dihasilkan memiliki besar
yang sama. Setelah tanah sudah seukuran kelapa proses pembuatan gerabah bisa
langsung dimulai, proses pembuatan masih menggunakan alat tradisional berupa perbot dengan metode putar.
Proses pembentukan gerabah ini
dilakukan dengan menggunakan kain bekas yang basah dengan perbot yang terus berputar. Gerabah yang sudah jadi lalu dipisahkan
dari perbot menggunakan serat dan ditaruh diatas papan panjang.
Agar gerabah mudah diangkat dan dipindah-pindah. Setelah itu gerabah bisa
langsung dijemur. Jika cuaca cerah proses penjemuran dilakukan seharian penuh,
tapi jika cuaca kurang baik proses penjemuran bisa memakan waktu selama tiga hari.
Selanjutnya, gerabah yang sudah
kering lalu dihaluskan, biasanya bagian bawah gerabah yang dihaluskan.Setelah
halus gerabah diblereng (dibatik/diberi
warna dan corak). Warna dalam gerabah hanya ada 2 (dua) yaitu merah dan hitam.
Warna merah dibuat dari tanah abang (tanah
merah) yang dicampur air sedangkan warna hitam dibuat dari isi baterai bekas
yang dicampur air. Gerabah yang sudah dihaluskan dan dibatik ini disebut
gerabah mentah.
Pada proses akhir, yaitu proses
pembakaran. Gerabah tidak langsung dibakar, sebelum dibakar pada pukul 08.00
WIB gerabah dikumpulkan dan dijemur memutari pengobongan (tempat pembakaran) agar lebih kering, juga bertujuan
agar gerabah lebih dekat dengan tempat pembakaran. Pukul 11.00 WIB gerabah siap dibakar, gerabah dimasukan ke dalam pengobongan dan disusun sampai
menggunung lalu ditutupi jerami. Penutupan gerabah menggunakan jerami dilakukan
terus-menerus sampai pukul 16.00 WIB.
Setelah itu bara api dalam pengobongan dibiarkan menyala. Bara api
dalam pengobongan diusahakan tetap
stabil karena akan mempengaruhi gerabah. Jika api tetap stabil gerabah yang
dihasilkan benar-benar matang sempurna tidak berwarna hitam melainkan merah.
Jika jerami penutup gerabah berubah menjadi abu dan abunya mulai berjatuhan ini
menandakan bahwa gerabah sudah masak dan siap dibongkar. Biasanya pada pukul
03.00 WIB gerabah siap dibongkar dari tempat pembakaran.
Berbeda dengan Ibu Casinah, Ibu Wari
seorang pengrajin gerabah sudah berhenti nglelerselama
bertahun-tahunkarena kendala modal. Walaupun demikian,beliau masih setia
menggunakan gerabah dalam kesehariannya. Kemampuannya untuk membuat gerabah pun
tidak pernah hilang.Bahkan mitos-mitos tentang awal pewarnaan gerabah yang
jarang diketahui orang tidak pernah beliau lupakan. Seperti yang pernah ibunya
ceritakan tentang asal mula gerabah diberi warna merah masih beliau ingat.
Menurut cerita beliau, dulu saat
zaman perang ada banyak Banteng di tepi laut yang ditembak kepalanya. Lalu
darahnya menempel pada tanah, kemudian tanahnya berubah jadi merah. Ada yang
berwarna merah marun dan ada yang merah pias. Merah marun sendiri karena darah
yang menempel di tanah jumlahnya banyak lalu berubah menjadi kental dan hitam
pekat, sedangkan warna merah pias karena jumlah darah yang menempel di tanah
sedikit.
Orang yang pertama kali menemukan
tanah ini adalah warga Desa Karanganyar. Awalnya orang ini pergi ke laut untuk
mencari tanah yang akan digunakan untuk mblereng,
saat tiba disana tanah di tepi laut itu berwarna merah. Tanah itu dibawa
dan digunakan untuk membuat corak pada gerabah. Awalnya gerabah hanya bercorak
hitam, setelah menemukan tanah ini semua pengrajin menambahkan corak merah pada
gerabahnya.
Itulah awal mula gerabah bermotif dan
bercorak merah menurut Ibu Wari. Entah itu cerita nyata atau sekedar mitos dari
mulut ke mulut, yang jelas sejarah dan kebudayaan harus tetap dilestarikan dan
dikembangkan. Salah satunya gerabah, yang jelas-jelas warisan budaya yang harus
dilestarikan.
Sebagai generasi muda kita harus
mencontoh Ibu Casinah dan Wari yang terus mempertahankan kebudayaan. Yang
beliau lakukan adalah salah satu hal kecil tapi bermanfaat bagi orang banyak.
Kita harus memberikan apresiasi yang besar atas apa yang beliau lakukan. Salah satunya
dengan tidak menutup mata pada kerajinan gerabah. Semoga jumlah pengrajin
gerabah tidak terus berkurang dan semakin banyak orang yang tertarik
menggunakan gerabah.
Langganan:
Postingan (Atom)