Kamis, 31 Agustus 2017

Tari Trebang Randu Kentir Losarang Kab. Indramayu pentas SOLO 24 Jam Menari























RONGGENG KETUK MIMI TIWENG LELEA



TUGAS AKHIR SEMESTER
METODE PENELITIAN TARI
PROPOSAL
FUNGSI TARI RONGGENG KETUK
DALAM UPACARA NGAROT
Di Desa Lelea Kecamatan Lelea-Indramayu
 







Disusun Oleh :
RATNAWATI
1211417011


Jurusan Seni Tari
Fakultas Seni Pertunjukan
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2015


FUNGSI TARI RONGGENG KETUK
DALAM UPACARA NGAROT
Desa Lelea Kecamatan Lelea-Indramayu
A.    Latar Belakang Masalah
Tari Ronggeng Ketuk merupakan kesenian tradisional kerakyatan yang berada di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tari Ronggeng Ketuk ini merupakan sebuah kesenian yang sejenis dengan kesenian Ketuk Tilu di daerah lain, namun Ronggeng Ketuk ini namanya diambil dari salah satu instrument yang mengiringi kesenian ini, yaitu berupa cemplon atau ketuk yang terdiri dari 3 buah. Instrument – instrument yang lainnya seperti rebab, kendhang sabet, tipung 3, ketuk, suling, gong, kecrek dan suling. Musik yang dimainkan yaitu musik Kembang Suket, Bata Rubuh, Gentong Kali, dan Empal Banteng.[1]
Bentuk pertunjukan dalam tarian ini yaitu para penonton melingkari ronggeng yang sedang menari, namun disalah satu sisi disediakan untuk para nayaga. Dahulu  Ronggeng Ketuk dipertunjukan pada malam hari dari jam 20.00 sampai dengan subuh, tetapi pada tahun 1990 sampai sekarang pertunjukannya hanya sampai tengah malam. Setiap para penonton pria diperbolehkan untuk turun ke arena dan bergantian menari dengan ronggeng, mereka berusaha untuk merebut hati ronggeng pujaannya seraya berlomba dengan memberikan sawer.
Tari Ronggeng Ketuk dipertunjukkan untuk upacara – upacara adat desa seperti untuk upacara Ngarot, bersih desa, mapag sri dan lain sebagainya. Tari Ronggeng Ketuk ini dipercayai sebagai sebuah tarian yang melambangkan kesuburan. Namun Tari Ronggeng Ketuk sering juga dipertunjukkan untuk acara – acara lain seperti acara khitanan, pernikahan, dan lain sebagainya. Seiring perubahan zaman pertunjukkan Tari Ronggeng Ketuk hampir sulit untuk dilihat kecuali pada upacara Ngarot.
Upacara adat ngarot  sebagai salah satu upacara adat yang terkenal di daerah indramayu sebagai budaya lokal yang masih terlihat eksistensinya sampai sekarang. Upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat petani dan diselenggarakan menjelang musim penghujan sekitar bulan Oktober sampai Desember. Peserta upacara adat ngarot tersebut dikhususkan untuk para pemuda-pemudi yang belum pernah berumah tangga yang disebut kasinoman. Kata Ngarot berasal dari bahasa sansakerta berati ngaruwat artinya membersihkan diri dari segala noda dan dosa akibat kesalahan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang pada masa lalu. Sedangkan menurut bahasa Sunda kuno Ngarot memiliki arti minum, oleh pribumi disebut kasinoman karena pelakunanya para kawula muda (si enom artinya anak muda).[2] Perayaan Upacara adat Ngarot  dilaksanakan setahun sekali dan selalu dilaksanakan pada hari rabu pada musim penghujan antara bulan Oktober sampai bulan Desember, sesuai dengan kesepakatan para perangkat Desa Lelea Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu untuk menentukan waktu pelaksanaannya.
Tari Ronggeng Ketuk yang berkaitan dengan upacara adat ngarot sebagai salah satu upacara adat yang penari Ronggeng hanya seorang perempuan dan dijadikan sebagai hiburan untuk para kasinoman laki - laki sebagai simbol kesuburan. Hiburan untuk para kasinoman perempuan yaitu Tari Topeng yang dipentaskan oleh seorang penari laki - laki.
Permasalahan yang muncul yaitu Tari Ronggeng Ketuk di dalam Uparaca Ngarot berfungsi sebagai hiburan, tetapi apabila Tari Ronggeng Ketuk tersebut tidak diadakan itu tidak boleh. Sehingga Tari Ronggeng Ketuk itu harus ada di dalam Upacara Ngarot.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka permasalahan yang muncul yaitu apa fungsi dari Tari Ronggeng Ketuk dalam Upacara Ngarot di Desa Lelea Kecamatan Lelea Indramayu, Jawa Barat ?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini yaitu :
1.      Menganalisis dan mendeskripsikan fungsi dari tari Ronggeng Ketuk dalam Upacara Ngarot
2.      Menganalisis dan mendeskripsikan bentuk penyajian Tari Ronggeng Ketuk dalam upacara adat ngarot di Desa Lelea Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu Jawa Barat.

D.    Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu mengetahui fungsi dan bentuk penyajian Tari Ronggeng Ketuk dalam upacara Ngarot dengan terjun langsung kelapangan saat meneliti, dan untuk menambah pengetahuan pada masyarakat tentang fungsi Tari Ronggeng Ketuk pada upacara Ngarot.


E.     Tinjauan Pustaka
Untuk menjawab masalah yang diungkap di atas, diperlukan informasi baik secara tertulis, lisan maupun melalui media video atau rekaman.  Adapun beberapa buku yang dipakai dalam referensi penelitian :
Dewi Linggasari dalam bukunya yang berjudul Ronggeng. Pada buku ini peneliti mengambil sebagai sumber acuan dalam penelitian dibagian babak pertama dalam buku ini menjelaskan tentang fungsi Ronggeng yang menjadi simbol kesuburan. Pada bab ini membantu peneliti untuk menjelaskan tentang fungsi ronggeng yang melambangkan kesuburan.
Supali Kasim dalam bukunya yang berjudul Budaya Dermayu Nilai-Nilai Historis, Estetis dan Transendental (2013) dalam Bab IV membahas tentang adat istiadat masyarakat Indramayu. Bab ini membantu peneliti untuk mengetahui tentang adat isriadat masyarakat Indramayu salah satunya adalah upacara adat ngarot yang akan di bahas oleh peneliti. Bab XI membahas tentang Jawa Dialek Indramayu. Pembahasan dalam Bab ini dianggap penting karena Bahasa merupakan alat komunikasi antar warga dan terdapat dua bahasa di Desa Lelea Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu yaitu Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa (Dialek Indramayu). Hal ini berkaitan dengan sejarah Desa Lelea sebagai tempat pelaksanakan upacara adat Ngarot.
Endang Caturwati dalam bukunya yang berjudul Perempuan & Ronggeng Ditatar Sunda Telaahan Sejarah Budaya. Pada buku ini peneliti merujuk sumber acuan pada BAB Ronggeng dalam Upacara Ritual hal 13 – 15 yang membahas tentang tarian ronggeng yang mempunyai laku magi-simpatetis yang dikenal dillingkungan masyarakat sawah sebagai “mimetik laku seksual” dan pada BAB Ronggeng sebagai Tontonan & Penyemarak Hiburan pada Hal 25 – 34 membahas tentang pergeseran fungsi Ronggeng setelah masuknya Agama Islam di daerah Jawa Barat.
Prof. Dr. Y Sumandiyo Hadi dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Tari membahas tentang keberadaan tari dalam pandangan fungsionalisme. Fungsi tari yang dibahas dalam buku ini yaitu tari sebagai upacara ritual sebagai pengalaman emosi keagamaan dan tari sebagai sarana pengungkapan kepercayaan atau keyakinan. Pandangan tentang fungsi sebenarnya tetap berhubungan dengan ilmu sosial yang erat hubungannya dengan masyarakat.
Sri Hastuti dalam bukunya yang berjudul SAWER :Strategi Topeng dalam Menggapai Selera Penonton membahas tentang pengertian sawer dalam sudut pandang orang Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan. Pada buku ini membantu peneliti untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian sawer di daerah Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan yang setiap kali ada pertunjukan pasti ada sawer termasuk pada pertunjukan Ronggeng Ketuk.
Samian pada bukunya yang berjudul  Sejarah Desa Lelea, Indramayu,  pada buku ini membahas tentang sejarah Desa Lelea dan asal mula terciptanya upacara adat Ngarot yang sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Desa Lelea Indramayu dan dalam buku ini juga membahas terbentuknya tari Ronggeng Ketuk. Pada buku ini membantu untuk menjelaskan sejarah upacara ngarot dan Ronggeng Ketuk.

F.     Pendekatan
Penelitian ini akan mengkaji Tari Ronggeng Ketuk dari sisi tekstual dan kontekstual. Mengkaji dari sisi tekstualnya akan menganalisis dari cara penyajian Tari Ronggeng Ketuk pada upacara Ngarot di Desa Lelea sedangkan mengkaji dari sisi kontekstualnya akan menganalisis dari fungsi Tari Ronggeng Ketuk dalam Upacara Ngarot di Desa Lelea sebagai desa yang menghasilkan budaya.
                                    Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan pendekatan Sosiologi untuk membedah masalah yang ada pada penelitian ini dan akan meminjam konsep Raymond Williams yang dijelaskan pada buku Sosiologi tari ditulis oleh Prof. Y. Sumandiyo Hadi. Menurut Reymond Williams dalam sosiologi budaya (sosiology of culture) dapat dikemukakan adanya tiga studi atau komponen pokok yaitu pertama, institutions atau lembaga – lembaga budaya; kedua, content atau isi budaya; dan ketiga, effect atau efek maupun norma – norma budaya. Studi mengenai komponen lembaga budaya akan menanyakan siapa yang menghasilkan produk budaya, siapa yang mengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan. Isi budaya akan menanyakan apa yang dihasilkan atatu simbol –simbol apa yang diusahakan; sementara komponen efek atau norma budaya akan menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu.[3] Alasannya karena dalam penelitian ini akan membahas tentang masyarakat, Tari Ronggeng Ketuk dalam Upacara Ngarot dan effect atau konsekuensi apa yang akan terjadi.
G.    Metode Penelitian
1.      Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data akan dilakukan dengan cara studi pustaka, observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder, data primer akan dikumpulkan lewat observasi langsung ke lapangan dan wawancara kepada narasumber. Data sekunder dikumpulkan lewat studi pustaka dan dokumentasi serta beberapa arsip – arsip yang bisa mendukung penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan cara yaitu :

a.       Studi pustaka
Pada studi pustaka ini peneliti akan melakukan pengumpulan data dengan cara membaca dan menganalisis buku – buku yang menjadi landasan pokok dan sumber informasi tentang Upacara Ngarot yang dilakukan oleh masyarakat Lelea dan tentang Tari Ronggeng Ketuk yang membantu peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan.

b.      Observasi
Observasi adalah sebuah kegiatan penelitian yang langsung terjun kelapangan. Untuk mendapatkan data di lapangan peneliti akan menyaksikan serta mengamati objek yang akan menjadi bahan penelitian. Proses penelitian ini termasuk observasi non – partisipant, maksudnya peneliti tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan upacara Ngarot di Desa Lelea, tetapi peneliti hanya sebagai pengamat yang langsung melihat pertunjukan Tari Ronggeng Ketuk dalam upacara ngarot.

c.       Wawancara
Wawancara adalah sebuah kegiatan penelitian yang menghadirkan narasumber sebagai bahan mengumpulan data. Pada penelitian ini peneliti akan menjadikan beberapa orang yang terlibat dalam pertunjukan Tari Ronggeng Ketuk di Upacara Ngarot. Alasannya karena untuk mendapatkan data yang pasti setidaknya peneliti mendapatkan 3 narasumber supaya peneliti mudah untuk mengcrosscek mana data yang benar.

d.      Dokumentasi
Dokumentasi yang dilakukan untuk penelitian ini dengan cara pemotretan yang menghasilkan foto-foto yang digunakan untuk mendeskripsikan objek yang diteliti dan merekam objek dengan kamera digital untuk memperjelas pengamatan dan pendeskripsian tari Ronggeng Ketuk ini.

2.      Analisis Data
Hasil data dari beberapa tehnik pengumpulan data yang dijelaskan diatas, untuk proses selanjutnya yaitu proses analisis data. Proses analisis data ini digunakan untuk  menganalisis data – data yang sudah dikumpulkan lewat beberapa tehnik yang sudah dijabarkan diatas secara sistematis. Dalam menganalisis data ini menggunakan analisis data kualitatif.

3.      Tahap Penulisan Laporan
Pada tahap ini data yang sudah dianalisis akan disusun secara sistematis sehingga membentuk sebuah laporan penelitian. Susunan tersebuut sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan berisikan tentang pembahasan yang akan membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan sampai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB II : Akan membahas tentang gambaran umum sosial-budaya masyarakat Indramayu secara geografis, sosial budaya, mata pencaharian, serta akan menggambarkan secara khusus sosial budaya masyarakat yang hidup di Desa Lelea.
BAB III :   Akan membahas tentang bentuk penyajian tari Ronggeng Ketuk dalam Upacara Ngarot yang dilaksanakan di Desa Lelea Kecamatan Lelea – Indramayu dan fungsi dari Tari Ronggeng Ketuk didalam Upacara Ngarot.
BAB IV : Akan membahas tentang kesimpulan dari hasil penelitian ini dan ditutup oleh daftar sumber acuan

H.    Daftar Sumber Acuan
1.      Sumber Lisan
Nama         : Dede Jaelani Solichin
Umur         : 31
Pekerjaan   : Seniman
Alamat      : Ds. Muntur Kec. Losarang – Indramayu
Peran         : Sebagai Narasumber yang mengetahui tentang Ronggeng Ketuk dan Upacara Ngarot

Nama         : Sartiwen / Mimi Tiweng
Umur         : 65
Pekerjaan   : seniman
Alamat      : Ds. Telagasari kec. Lelea – Indramayu
Peran         : Sebagai Penari Ronggeng Ketuk

2.      Sumber Cetakan
Kasim, Supali. 2013. Budaya Dermayu Nilai – Nilai Historis, Estetis dan Transendental. Yogyakarta : Poestakadjati.
Samian. 2002. Sejarah Desa Lelea. Laporan Penelitian. Indramayu.
Hastuti, Sri. 2013. SAWER :Strategi Topeng dalam Menggapai Selera Penonton. Yogyakarta : Cipta Media.
Hadi, Y Sumandiyo. 2005. Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka.
Caturwati, Endang. 2006. Perempuan dan Ronggeng di Tatar Sunda Telaahan Sejarah Budaya. Bandung: Pusat Kajian Lintas Budaya.




[1] Hasil wawancara dengan Mas dede Jaelani pada tanggal 1 Nov 2014 di desa Losarang Indramayu pada jam 14.00 Wib
[2] Samian, 2002, Sejarah Desa  Lelea – Indramayu, p.54
[3] Y, Sumandiyo Hadi. 2005. Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka. p40-41

Selasa, 13 Juni 2017

Tari Trebang Randu Kentir Losarang Kabupaten Indramayu





Gerabah Anjun Kecamatan Kandanghaur












Kerajinan Gerabah di Peralihan Zaman
Oleh: ( Afifah)Sangar Asem Gede Losarang Indramayu

Di zaman yang sudah modern ini dimana alat-alat canggih dan praktis seperti handphone, magiccom, dispenser dan kulkas mulai menjamur dikalangan masyarakat ternyata masih ada orang yang tetap menggunakan alat-alat tradisional dalam kesehariannya. Seperti alat dapur berupapedaringan(tempat menyimpan beras),kuali (untuk memasak jamu), kekeb(penutup dalam memasak nasi),pendil(tempat ari-ari/memasak jamu), laya(seperti piring) dankendi(tempat menyimpan air).Benda-benda ini terbuat dari tanah liat yang biasa disebut dengan gerabah.
Gerabah adalahperkakas yang terbuat dari tanah liat yang dibentuk kemudian dibakar untuk dijadikan alat-alat yang berguna membantu kehidupan manusia. Gerabah sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat di Desa Karanganyar Kec. Kandanghaur Kab. Indramayu. Bahkan, ditengah gempuran teknologi masih ada permintaan akan gerabah ini sedangkan pengrajinnya bisa dihitung dengan jari.
Salah satunya Ibu Casinah, seorang pengrajin gerabah yang umurnya hampir satu abad sudah bertahun-tahun tetap mempertahankan kebiasaannya. Pun kebiasaannya dalam membuat gerabah. Hampir separuh dari umurnya beliau habiskan sebagai seorang pengrajin gerabah. Mungkin sama halnya seperti pengrajin-pengrajin lain yang seusianya. Sejak kecil beliau sudah dikenalkan dengan gerabah hingga pada akhirnya hanya kenal dengan gerabah.
Saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3 dan baru genap berusia 13 tahun beliau mulai belajar ngleler (membuat gerabah)secara otodidak. Berawal dari rasa penasaran dan kagumnya melihat sang Ibu membuat gerabah, beliau mencoba mengikuti ibunya membuat gerabah. Cuwo (seperti mangkuk kecil, digunakan untuk tempat sambal) adalah gerabah pertama yang bisa beliau buat. Hingga akhirnya bisa membuat laya/coetseperti yang ibunya buat.
Kini Ibu casinah mampu membuat cuwo, laya dan kekeb. Sejak bisa membuat gerabah Ibu Casinah berhenti sekolah. Bagi masyarakat disini bisa membuat gerabah itu sudah cukup, dengan mempunyai keahlian ini maka bisa dikatakan sudah memiliki pekerjaan. Ibu Casinah beruntung karena masih merasakan bangku sekolah, sedangkan kebanyakan pengrajin pada umumnya tidak pernah mengenyam bangku sekolah.
Gerabah sendiri terbuat dari campuran tanah liat dan pasir. Proses pembuatannya pun tidak terlalu sulit asalkan sabar dan hati-hati. Berikut proses pembuatannya, pertama, pengambilan tanah liat. Biasanya tanah diambil dekat sawah, lalu dikumpulkan jadi satu sampai berbentuk gelondongan. Tanah liat yang masih gelondongan disebut masih mentah karena keras.
Kedua, tanah liat yang masih gelondongan laludiserat(disisir), orang-orang biasa menyebutnya dengan nyerat. Menggunakan alat yang terbuat dari kawat yang memanjang dengan kain disetiap ujungnya sebagai pegangan yang disebut serat. Cara menggunakannya dengan mensisir tanah secara vertikal.
Kemudian, proses penggilingan. Tanah liat yang sudah disisir lalu disiram air dan ditambahkan pasir (perbandingan tanah dan pasir 1:1) lalu didiamkan semalaman. Proses penggilingan dilakukan secara manual dengan cara diinjak-injak, agar menjadi halus. Setelah halus lalu tanah dikumpulkan dan dibentuk gelondongan lagi.Tanah yang sudah digiling ini disebut tanahmateng (masak) karena teksturnya lebih halus.
Lalu, masuk pada proses pembentukan.Tanah liat tidak langsung dibuat gerabah, tanah yang masih gelondongan tadi dibentuk seukuran kelapa. Sebelum dibentuk seukuran kelapa kerikil-kerikil yang masih menempel pada tanah dipisahkan, hal ini dilakukan agar proses pembuatan lebih mudah dan gerabah yang dihasilkan memiliki besar yang sama. Setelah tanah sudah seukuran kelapa proses pembuatan gerabah bisa langsung dimulai, proses pembuatan masih menggunakan alat tradisional berupa perbot dengan metode putar.
Proses pembentukan gerabah ini dilakukan dengan menggunakan kain bekas yang basah dengan perbot yang terus berputar. Gerabah yang sudah jadi lalu dipisahkan dari perbot menggunakan serat dan ditaruh diatas papan panjang. Agar gerabah mudah diangkat dan dipindah-pindah. Setelah itu gerabah bisa langsung dijemur. Jika cuaca cerah proses penjemuran dilakukan seharian penuh, tapi jika cuaca kurang baik proses penjemuran bisa memakan waktu selama tiga hari.
Selanjutnya, gerabah yang sudah kering lalu dihaluskan, biasanya bagian bawah gerabah yang dihaluskan.Setelah halus gerabah diblereng (dibatik/diberi warna dan corak). Warna dalam gerabah hanya ada 2 (dua) yaitu merah dan hitam. Warna merah dibuat dari tanah abang (tanah merah) yang dicampur air sedangkan warna hitam dibuat dari isi baterai bekas yang dicampur air. Gerabah yang sudah dihaluskan dan dibatik ini disebut gerabah mentah.
Pada proses akhir, yaitu proses pembakaran. Gerabah tidak langsung dibakar, sebelum dibakar pada pukul 08.00 WIB gerabah dikumpulkan dan dijemur memutari pengobongan (tempat pembakaran) agar lebih kering, juga bertujuan agar gerabah lebih dekat dengan tempat pembakaran. Pukul 11.00 WIB gerabah siap dibakar, gerabah dimasukan ke dalam pengobongan dan disusun sampai menggunung lalu ditutupi jerami. Penutupan gerabah menggunakan jerami dilakukan terus-menerus sampai pukul 16.00 WIB.
Setelah itu bara api dalam pengobongan dibiarkan menyala. Bara api dalam pengobongan diusahakan tetap stabil karena akan mempengaruhi gerabah. Jika api tetap stabil gerabah yang dihasilkan benar-benar matang sempurna tidak berwarna hitam melainkan merah. Jika jerami penutup gerabah berubah menjadi abu dan abunya mulai berjatuhan ini menandakan bahwa gerabah sudah masak dan siap dibongkar. Biasanya pada pukul 03.00 WIB gerabah siap dibongkar dari tempat pembakaran.
Berbeda dengan Ibu Casinah, Ibu Wari seorang pengrajin gerabah sudah berhenti nglelerselama bertahun-tahunkarena kendala modal. Walaupun demikian,beliau masih setia menggunakan gerabah dalam kesehariannya. Kemampuannya untuk membuat gerabah pun tidak pernah hilang.Bahkan mitos-mitos tentang awal pewarnaan gerabah yang jarang diketahui orang tidak pernah beliau lupakan. Seperti yang pernah ibunya ceritakan tentang asal mula gerabah diberi warna merah masih beliau ingat.
Menurut cerita beliau, dulu saat zaman perang ada banyak Banteng di tepi laut yang ditembak kepalanya. Lalu darahnya menempel pada tanah, kemudian tanahnya berubah jadi merah. Ada yang berwarna merah marun dan ada yang merah pias. Merah marun sendiri karena darah yang menempel di tanah jumlahnya banyak lalu berubah menjadi kental dan hitam pekat, sedangkan warna merah pias karena jumlah darah yang menempel di tanah sedikit.
Orang yang pertama kali menemukan tanah ini adalah warga Desa Karanganyar. Awalnya orang ini pergi ke laut untuk mencari tanah yang akan digunakan untuk mblereng, saat tiba disana tanah di tepi laut itu berwarna merah. Tanah itu dibawa dan digunakan untuk membuat corak pada gerabah. Awalnya gerabah hanya bercorak hitam, setelah menemukan tanah ini semua pengrajin menambahkan corak merah pada gerabahnya.
Itulah awal mula gerabah bermotif dan bercorak merah menurut Ibu Wari. Entah itu cerita nyata atau sekedar mitos dari mulut ke mulut, yang jelas sejarah dan kebudayaan harus tetap dilestarikan dan dikembangkan. Salah satunya gerabah, yang jelas-jelas warisan budaya yang harus dilestarikan.
Sebagai generasi muda kita harus mencontoh Ibu Casinah dan Wari yang terus mempertahankan kebudayaan. Yang beliau lakukan adalah salah satu hal kecil tapi bermanfaat bagi orang banyak. Kita harus memberikan apresiasi yang besar atas apa yang beliau lakukan. Salah satunya dengan tidak menutup mata pada kerajinan gerabah. Semoga jumlah pengrajin gerabah tidak terus berkurang dan semakin banyak orang yang tertarik menggunakan gerabah.